Qultu ___Man Ana?

Foto saya
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Dilahirkan di lereng gunung Lawu,Magetan 1990 silam dengan nama Jarot Amirudin bin Sunarto bin Shalihin. Mengenal dakwah tatkala remaja setelah sebelumnya berkutat dengan macam - macam sampah pemahaman. Kini Jarot memiliki nama baru : Abdurrahman. Maka panggil saya Abu Mas'ud Abdurrahman Jarot. Mencoba membuat blog untuk menyalurkan tulisan yang digubah saat mondok di Ngawi atau saat ini di sela kesibukan mengajar di SDI Darul Arqom Surabaya.

Jumat, 20 Mei 2011

Berhias Dengan Nama Islami (bag.1)


PRAKATA

Nama bagi manusia merupakan perhiasan dan syi’ar, yang mana seseorang akan dipanggil dengannya di dunia dan akhirat. Nama merupakan penunjuk sesuatu, yang orang sangat merasakan manfaat dengannya. Karena demikian penting, selayaknya seseorang memahami penamaan dirinya atau anak–anaknya dengan nama Islami, terkhusus bahasa Al-Qur’an (‘Arab).

Adalah merupakan kebanggaan bagi kaum muslimin ketika dia membuka kumpulan biografi para ulama salaf maupun kalangan orang mulia dia dapati nama-nama Islami bertebaran. Abdullah, Muhammad, Abdurrahman, Aisyah, dan semisalnya. Nama-nama yang lekat dengan ekstensi Islam itu sendiri.

Adapun nama-nama Ajam (non ‘Arab) yang biasa digunakan kaum kuffar seperti John, Agustin, Yulia, Gandhi, Laura dan semisalnya tertolak dari keutamaan segi bahasa maupun syar’inya. Nama-nama Ajam itu menyelinap deras di kalangan awam dan merusak kecintaan kaum muslimin menamai anak-anaknya dengan bahasa Al-Qur’an.

Bila sebuah buku sering dinilai karena judulnya, manusia dikenal karena namanya. Lalu bagaimana kita bisa mudah membedakan orang muslim dengan orang kafir jika kaum muslimin bangga berhias dengan nama kaum kuffar? Kita tentu tidak berharap pendengaran kita sakit karena mendengar tetangga kita yang muslim menamai anaknya yang laki dengan Alex dan yang wanita dengan Laura (misalnya). Jadilah panggilan itu sebagai perhiasan yang menyedihkan di dunia dan akhirat bagi orang yang mau jujur dan memikirkan.

DEFINISI NAMA

Ditinjau dari segi bahasa:

  1.  Nama adalah petunjuk sesuatu yang mana sesuatu itu bisa dikenal.
  2.  Nama adalah kata yang menunjukkan makna dari kata itu sendiri dan tak bisa dikaitkan dengan waktu (lihat Mu’jamul Wasith 1/452)
  3.  Nama adalah petunjuk dari sesuatu dan dengannya bisa diketahui karakteristiknya (Mu’jam Alfadhil Qur’an hal 250)

Al-Qur’an menyebut nama person tertentu dalam konteks cerita atau perintah dalam berbagai tempat. Allah Ta’ala berfirman:

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَىٰ لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا

“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.”(QS. Maryam: 7)

Maka hakikat nama bagi seorang insan adalah sebagai penunjuk karakter dan pembeda. Oleh karena itu jika seorang anak misalnya tak memiliki nama maka ia tak bisa dikenal dan tak bisa dibedakan.

HUKUM MEMBERI NAMA

Disebut oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab Maratib Al Ijma’, bahwa para ulama sepakat tentang wajibnya memberi nama pada setiap anak; lelaki atau wanita.

WAKTU PEMBERIAN NAMA

Disunnahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran, dengan dalil:

Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan kambing di hari ketujuh dari kelahirannya, dinamai pada hari itu,d an dicukur rambutnya.” (HR Tirmidzi 1552,lihat pula Irwaul Ghalil juz 4 no.1169)

Diperbolehkan menamai anak sebelum hari ketujuh.

Dalilnya adalah:

Dari Abu Musa al Asy’ari radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Telah lahir seorang anakku lalu aku membawanya menuju Nabi Shalallahu alaihi wassalam maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan kurma, dan mendoakan barokah padanya. Setelah itu dikembalikan padaku.” (HR Bukhari 5467)

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari:

“Bagi siapa yang tidak melaksanakan aqiqah, hendaknya tidak mengakhirkan pemberian nama hingga hari ketujuh sebagaimana dalam kisah Ibrahim bin Abi Musa dan Abdullah bin Abi Tholhah, begitu juga Ibrahim anak Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Zubair. Tidak ada riwayat bahwa salah satu dari mereka diaqiqahi”

Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah:

“Adapun perkara ini adalah perselisihan di kalangan ulama dan masuk dalam khilaf tanawwu’ yang diperbolehkan yang menunjukkan pula tentang keluasan perkara ini, walhamdulillah.” (Tasmiyatul Maulud hal 28)

Memberi nama adalah hak Ayah

Adalah dalil yang diambil dari ucapan ana dalam sub bahasan ini adalah perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Terdapat riwayat yang menunjukkan para sahabat membawa anaknya ke Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk dinamai. Maka inilah dasarnya, seorang ayah mempunyai hak terhadap nama anaknya. Terserah sang ayah, apakah ia menamai anaknya sendiri atau dia bawa ke seorang alim untuk dinamai.

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Disenangi bagi orangtua menyerahkan seorang anak kepada orang shalih untuk dinamai dengan nama yang disenangi bagi anaknya.” (Al Minhaj juz 14 hal 124)

NASAB ANAK

Anak dinasabkan dengan nama ayahnya bukan dengan nama ibunya.

Dalilnya:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ ۚ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 5).

Maka ini menunjukkan kesalahan penamaan dengan penyandaran pada ibunya, sebagaimana ada terjadi di sebagian Nusantara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar